Perebutan Uang dan Kekuasaan di PSSI Djohar
Perebutan Uang dan Kekuasaan di PSSI Djohar
Jakarta, Sriwijaya Soccer - Terkait Perekrutan Luis Manuel Blanco, proses 'pengambilannya' ternyata
'dipromotori' oleh mantan manajer timnas senior di Piala AFF 2012 yakni
Habil Marati, bersama beberapa orang lainnya. Dari penelusuran, Habil
Marati ternyata didukung penuh oleh Djohar. Dana dari pihak ketiga yang
disebut-sebut Djohar ternyata berasal dari kas Isran Noor, bupati Kutai
Timur yang menjabat Ketua Asosiasi Kabupaten Seluruh Indonesia. Kendati
demikian, tidak diketahui besarnya dana yang digelontorkan oleh Isran
Noor ini.
Yang jelas, Isran Noor sendiri tidak 'membuang'
dananya secara sia-sia. Bupati Kutim ini dijanjikan untuk menduduki
jabatan Ketua Badan Tim Nasional atau BTN PSSI, lembaga yang tercatat
dalam Statuta PSSI 2007-2011 namun dibubarkan hanya melalui SK oleh
Djohar Arifin. Menurut rencana, keberadaan BTN 'gaya baru' ini akan
diumumkan awal pekan ini, dengan Isran Noor sebagai ketua dan Habil
Marati menjadi wakilnya.
Akan tetapi, belum lagi bisa
dipastikan apakah kelahiran BTN 'gaya baru' ini dapat segera
direalisasikan. Pasalnya, seperti dikemukakan di awal tulisan ini,
perlawanan terhadap 'keputusan' Djohar Arifin dalam menetapkan Luis
Manuel Blanco sebagai pelatih kepala timnas senior sudah langsung
ditunjukkan dari kalangan internal PSSI sendiri. Disamping Bob Hippy,
yang menjabat koordinator timnas, sikap menentang juga dilontarkan Sihar
Sitorus yang selama ini disebut-sebut mengucurkan dana talangan untuk
timnas, serta Bernhard Limbong, penanggung jawab timnas.
Mereka
berdalih, penunjukkan pelatih timnas harus melalui persetujuan rapat
Exco. Tidak ujug-ujug seperti yang dilakukan oleh Djohar.
Kekesalan Bob Hippy, Sihar dan Limbong boleh jadi karena memang mereka
tak dilibatkan. Apalagi, Isran Noor diplot untuk menduduki posisi
strategis yang memayungi seluruh aspek terkait timnas, yakni Ketua BTN.
Dalam penjabaran fungsi atau peran dan kewenangannya, BTN akan menjadi
semacam lembaga 'superbodi' yang bertanggung jawab penuh atas timnas,
termasuk dalam hal penggalangan dukungan finansial, atau sponsor, serta
merekomendasikan pemain dalam seluruh strata tim, serta memilih atau
merekomendasikan jajaran ofisial.
Kewenangan BTN yang nyaris
mutlak terkait timnas ini tentu saja bisa mematikan peranan Bob Hippy
sebagai koordinator timnas dan Limbong, penanggung jawab timnas. Walau
fungsi koordinator dari Bob Hippy dan penanggung jawab Timnas yang
melekat pada Limbong tidak jelas dan yang pasti tumpang-tindih, akan
tetapi selama ini keduanya bisa seiring-sejalan, mungkin karena
kepentingan masing-masing terakomodasi.
Berbeda kondisinya
sekarang ini. Limbong amat geram dengan perekrutan dan penugasan Luis
Manuel Blanco. Sampai-sampai pensiunan jenderal bintang satu ahli
koperasi ini melontarkan pernyataan lantang, bahwa lebih baik menurunkan
Djohar daripada melanggar keputusan Exco.
Jelas jika saat ini
sedang terjadi 'benturan kepentingan' diantara pengurus teras PSSI
2011-2015. Indikatornya apalagi kalau bukan karena uang dan kekuasaan.
Penentuan manajer untuk timnas senior untuk Pra Piala Asia, yang dijabat
oleh Bupati Sarmi (Papua) sebelumnya disebut-sebut tak terlepas dari
aroma kepentingan bisnis Sihar Sitorus dan Limbong. Sekarang, langkah
yang sama dilakukan oleh Habil Marati, tentunya dengan memanfaatkan
situasi dan dukungan orang-orang yang oportunis.
Menurut
Prof Tjipta Lesmana, yang menjadi Ketua Komisi Banding Pemilihan (KBP)
dalam proses pencarian figur pengurus untuk Kongres Pemilihan 2011, di
negara mana pun tidak ada dua kompetisi dari level yang sama. Sekarang
ini, di Indonesia, bukan hanya ada dua kompetisi dari level yang sama.
Akan tetapi, dua kepengurusan. Kompetisi yang digelar bukan hanya dari
strata profesional, akan tetapi juga seluruh kategori amatir.
Pengungkapan Tjipta Lesmana mengisyaratkan bahwa masyarakat harus cerdas
dalam menelaah akar permasalahan terkait konflik PSSI ini. Walau
demikian, bagi sebagian masyarakat, timnas-lah yang lebih penting.
Pemikiran atau mindset ini pula yang tampaknya amat dipahami oleh Djohar
Dkk. Sentimen kebanggaan pada timnas selalu menjadi 'senjata' yang
paling ampuh untuk memperoleh dukungan dari masyarakat, termasuk
kalangan media.
Sejak lama disebutkan bahwa elemen media
sebenarnya mempunyai peranan penting dalam penyelesaian konflik PSSI.
Masalahnya, dalam labirin konflik yang belum diketahui ujungnya ini,
media justru terkesan 'terpecah' sehingga hal ini secara langsung atau
tidak langsung 'termanfaatkan' oleh pengurus PSSI yang sebagian justru
bersifat oportunis. Banyak orang-orang 'pintar' yang 'nyambi' dan
bertahan dalam kepengurusan ini untuk mendapatkan keuntungan sendiri.
Kita memahami bahwa sepakbola mempunyai aturan-aturan sendiri. Dalam
konteks ini, penyelesaian konflik PSSI tak sekadar siapa harus mengalah,
atau kedua pihak harus sama-sama menahan diri. Aturannya sudah sangat
jelas. Kepengerusan Djohar sudah diamputasi oleh mayoritas stakeholders
sepakbola nasional, dan hanya karena proteksi atau kebaikan dari
FIFA/AFC mereka masih bertahan.
Kesalahan terbesar memang ada
pada FIFA/AFC yang tidak secara langsung menjatuhkan sanksi kepada PSSI
setelah terbentuknya kepengurusan PSSI 2012-2016 dari KLB KPSI pada 18
Maret 2012 di Ancol. Jika saja FIFA konsisten pada statutanya sendiri,
yang mengharamkan adanya dua asosiasi di satu negara, maka sepakbola
Indonesia sudah harus dijatuhi sanksi berupa pembekuan.
Fakta
yang lebih buruk menyusul tidak adanya sanksi itu adalah, Djohar Dkk
terus melakukan kerusakan-kerusakan. Pembentukan pengprov-pengprov
tandingan, dan klub-klub kloningan, adalah bentuk kerusakan tambahan
(collateral damage) yang dibuat oleh PSSI 2011-2015. Tujuan utama Djohar
Dkk membentuk pengprov dan klub-klub kloningan apalagi kalau bukan
'merusak' tatanan keanggotaan PSSI, termasuk anggota pemilik suara atau
voters.
Karena itulah, Djohar selalu menyatakan bahwa mereka
masih didukung oleh mayoritas voters dari KLB Solo--yang menghasilkan
kepengurusan 2011/2015. Alasan dengan nuansa kebohongan itu pula yang
selalu dilontarkan ke FIFA/AFC, terkait peserta Kongres Palangkaraya
2011 dan 2012.
Tubagus Adhi, wartawan senior, pengamat sepakbola dan mantan anggota Komite Media PSSI periode 2007-2011.
sumber: jaringnews
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !